PERBATASAN WILAYAH NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA ASING
PERBATASAN
WILAYAH NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA ASING
BATAS WILAYAH DARAT DAN
LAUT INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan
banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas
darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara
Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia
tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing
memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara
tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial,
ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan
dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,
Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG).
Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya
92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu
penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan
dengan negara tetangga.
Berikut adalah batas laut
Indonesia:
Indonesia-Malaysia Garis batas laut wilayah antara Indonesia
dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang
ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977.
Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia
telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai
implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya
kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah
perairan yang ada di Selat Malaka.
Pada Agustus 1969,
Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut,
diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi
Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone). Sehingga
timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di
Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut. Adapun batas
Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis
lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati
bersama pada 27 Oktober 1969.
Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan
perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang
penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan
titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing
negara.
Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap
negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru.
Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di
Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani
pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan
titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak
Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen
kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia.
Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada
kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat
penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara.
Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara
Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan
oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas
Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan
Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan
berdasarkan perjanjian bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas
Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka
seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua
negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas
Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state,
Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai
base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut.
Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang
memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber
perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat
Malaka.
Indonesia-Singapura Penentuan titik-titik
koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada
prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang
berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada
kesepakatan kedua pemerintah.
Titik-titik koordinat itu terletak di Selat
Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah Indonesia
dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya
kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus yang
ditarik dari titik koordinat.
Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas
Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai
perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga
negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Pada sisi barat di perairan sebelah utara
pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura yang jaraknya
hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah
utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut.
Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut.
Permasalahan muncul setelah Singapura dengan
gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan
garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan
dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi
daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia – Singapura yang
belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah
di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis
Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat
diidentifikasi.
Namun dengan melalui perundingan yang menguras
energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara
yang mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah
Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah
berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama
delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan
Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan
konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum
disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara.
Perbatasan Indonesia dan Singapura terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
tengah (disepakati tahun 1973), bagian Barat (Pulau Nipa dengan Tuas, disepakati
tahun 2009) dan bagian timur (Timur 1, Batam dengan Changi (bandara) dan Timur
2 antara Bintan.
Indonesia-Thailand Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan
Thailand adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara.
Hal itu disepakati dalam perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Thailand
tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973.
Titik koordinat batas Landas Kontinen
Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan sebelum
berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena itu, sudah selayaknya
perjanjian penetapan titik-titik koordinat di atas ditinjau kembali.
Apalagi Thailand telah
mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Royal Proclamation pada
23 Februari 1981, yang isinya; “The exclusive Economy Zone of Kingdom
of Thailand is an area beyond and adjacent to the territorial sea whose breadth
extends to two hundred nautical miles measured from the baselines use for
measuring the breadth of the Territorial Sea”. Pada prinsipnya
Proklamasi ZEE tersebut tidak menyebutkan tentang penetapan batas antar negara.
Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan
India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat
daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14
Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua
negara. Namun, pada beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada
kesepakatan.
Indonesia-Australia Perjanjian Indonesia dengan Australia mengenai
garis batas yang terletak antara perbatasan Indonesia- Papua New Guinea ditanda
tangani di Jakarta, pada 12 Februari 1973. Kemudian disahkan dalam UU No 6
tahun 1973, tepatnya pada 8 Desember 1973).
Adapun persetujuan antara
Indonesia dengan Australia tentang penetapan batas-batas Dasar Laut, ditanda
tangani paada 7 Nopember 1974. Pertama, isinya menetapkan lima daerah
operasional nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan Australia, yaitu Ashmore
reef (Pulau Pasir); Cartier Reef (Pulau Ban); Scott
Reef (Pulau Datu);Saringapatan Reef, dan Browse.
Kedua, nelayan
tradisional Indonesia di perkenankan mengambil air tawar di East Islet dan Middle
Islet, bagian dari Pulau Pasir (Ashmore Reef). Ketiga,
nelayan Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan dan merusak lingkungan di
luar kelima pulau tersebut.
Sementara persetujuan Indonesia dengan
Australia, tentang pengaturan Administrative perbatasan antara Indonesia-Papua
New Gunea; ditanda tangani di Port Moresby, pada 13 November 1973. Hal tersebut
telah disahkan melalui Keppres No. 27 tahun 1974, dan mulai diberlakukan pada
29 April 1974. Atas perkembangan baru di atas, kedua negara sepakat untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan MOU 1974.
Indonesia-Vietnam Pada 12 November 1982,
Republik Sosialis Vietnam mengeluarkan sebuah Statement yang disebut “Statement
on the Territorial Sea Base Line”. Vietnam memuat sistem penarikan
garis pangkal lurus yang radikal. Mereka ingin memasukkan pulau Phu Quoc masuk
ke dalam wilayahnya yang berada kira-kira 80 mil laut dari garis batas darat
antara Kamboja dan Vietnam.
Sistem penarikan garis
pangkal tersebut dilakukan menggunakan 9 turning point. Di mana dua
garis itu panjangnya melebihi 80 mil pantai, sedangkan tiga garis lain
panjangnya melebihi 50 mil laut. Sehingga, perairan yang dikelilinginya
mencapai total luas 27.000 mil2. Sebelumnya, pada 1977 Vietnam menyatakan memiliki
ZEE seluas 200 mil laut, diukur dari garis pangkal lurus yang digunakan untuk
mengukur lebar Laut Wilayah. Hal ini tidak sejalan dengan Konvensi Hukum Laut
1982, karena Vietnam berusaha memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh
dari titik pangkal. Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna.
Indonesia-Filipina Berdasarkan dokumen
perjanjian batas-batas maritim Indonesia dan Filipina sudah beberapa kali
melakukan perundingan, khususnya mengenai garis batas maritim di laut Sulawesi
dan sebelah selatan Mindanao (sejak 1973). Namun sampai sekarang belum ada
kesepakatan karena salah satu pulau milik Indonesia (Pulau Miangas) yang
terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan
konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara
Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles)
sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).
Indonesia-Republik Palau Republik Palau berada di
sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara itu terletak di 060. 51”
LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan luas
daratan ± 500 km2.
Berdasarkan konstitusi 1979, Republik Palau
memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut
Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan
yang mengelilingi kepulauan.
Palau memiliki Zona
Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga berbatasan
dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis
pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona
Perikanan yang diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan
antara kedua negara agar terjadi kesepakatan mengenai garis batas ZEE.
Indonesia-Timor Leste Berdirinya negara Timor Leste sebagai negara
merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan
negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor
Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang.
First Meeting Joint
Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember
2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa
deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas
maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua
diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Berikut adalah Batas
Darat Indonesia: Perbatasan darat Indonesia dengan negara
tetangga adalah bahwa proses penetapan batasnya (Delimitasi) telah diselesaikan
di masa pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan batas
dengan Inggris untuk segmen batas darat di Kalimantan dan Papua. Sedangkan
Hindia Belanda menetapkan batas darat dengan Portugis di Pulau Timor. Merujuk
kepada ketentuan hukum internasional Uti Possidetis Juris (suatu negara
mewarisi wilayah penjajahnya), maka Indonesia dengan negara tetangga hanya
perlu menegaskan kembali atau merekonstruksi batas yang telah ditetapkan
tersebut. Penegasan kembali atau demarkasi tidaklah semudah yang diperkirakan.
Permasalahan yang sering terjadi di dalam proses demarkasi batas darat adalah
munculnya perbedaan interpretasi terhadap treaty atau perjanjian yang telah
disepakati Hindia Belanda. Selain itu, fitur-fitur alam yang sering digunakan
di dalam menetapkan batas darat tentunya dapat berubah seiring dengan
perjalanan waktu. Lebih lanjut lagi tidak menutup kemungkinan, sosial budaya dan
adat daerah setempat juga telah berubah, mengingat rentang waktu yang panjang
semenjak batas darat ditetapkan pihak kolonial
dulu.
Perbatasan Wilayah Indonesia
dengan Negara Tetangga
Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga. Negara Indonesia memiliki prinsip semangat good neighboorhood policy yang artinya semangat kebijakan negara bertetangga yang baik dalam menyelesaikan masalah perbatasan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia mengedepankan jalan damai misalnya dengan melakukan perundingan/negoisasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Meskipun perjanjian tersebut sudah disepakati bersama, tetapireal-nya sering terjadi sengketa akibat pengakuan sepihak mengenai suatu kepentingan serta tidak displinnya suatu negara dalam menjalankan perjanjian.
Perjanjian Republik
Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Selat Malaka dan sengketa yang
terjadi
Kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Selat Malaka terdapat pada “Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka”. Isi perjanjian tersebut sesuai ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.” Maka sesuai kesepakatan bahwa, garis batas laut wilayah tersebut sesuai dengan garis batas landas kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang mulai berlaku pada bulan November 1969.
Meskipun perjanjian bilateral mengenai perbatasan di Selat Malaka sudah disepakati, namun masih terjadi sengketa antara kedua negara. Menurut Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP), mereka berhasil menangkap dua kapal Malaysia yang sedang menangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Selat Malaka. Hal ini tentu merupakan pelanggaran karena memasuki wilayah Indonesia serta mengambil sumber daya Indonesia secara ilegal. Namun ketika petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menangkap
Kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Selat Malaka terdapat pada “Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka”. Isi perjanjian tersebut sesuai ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.” Maka sesuai kesepakatan bahwa, garis batas laut wilayah tersebut sesuai dengan garis batas landas kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang mulai berlaku pada bulan November 1969.
Meskipun perjanjian bilateral mengenai perbatasan di Selat Malaka sudah disepakati, namun masih terjadi sengketa antara kedua negara. Menurut Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP), mereka berhasil menangkap dua kapal Malaysia yang sedang menangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Selat Malaka. Hal ini tentu merupakan pelanggaran karena memasuki wilayah Indonesia serta mengambil sumber daya Indonesia secara ilegal. Namun ketika petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menangkap
dua kapal Malaysia lalu di tengah
perjalanan muncul tiga helikopter Patroli Malaysia yang mengahalangi
penangkapan tersebut, padahal dua kapal tersebut memang melakukan kesalahan.
Pada akhirnya helikopter Malaysia itupun berhenti menghalangi karena pertugas
Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia tidak memerdulikan tiga
helokopter tersebut. Kasus ini menunjukan tidak displinnya Malaysia dalam
menaati perjanjian yang sudah disepakati dan diperparah lagi dengan pembelaan
Patroli Malaysia padahal kapal tersebut jelas-jelas melanggar aturan.
Indonesia dan Malaysia memang sudah
menetapkan garis batas landas kontinen tahun 1969 sehingga sudah adanya
kejelasan dalam pembagian dasar laut dan kekayaan alam misalnya kekayaan
minyak, gas dll. Namun belum adanya kejelasan mengenai pembagian tubuh air dan
kekayaannya seperti ikan. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan Indonesia dan
Malaysia memiliki pengakuan masing-masing. Indonesia mengakui garis tengah
antara Indonesia dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Malaysia
mengakui secara sepihak bahwa batas landas kontinen itu merupakan sekaligus
garis batas ZEE, tentu Indonesia tidak setuju dengan pengakuan itu karena belum
diadakan kesepakatan mengenai batas ZEE antar kedua negara. Contoh sengketa
yang terjadi mengenai pengakuan atas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ,
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak adanya kesepakatan sehingga pengakuan
sepihak yang yang diakui negara Indonesia belum tentu diakui negara
Malaysia dan sebaliknya karena standar untuk menentukan pengakuan tersebut
berbeda. Pengakuan masing-masing negara yang belum disepakati ini juga
mengakibatkan adanya kawasan wilayah yang diakui oleh kedua negara sehingga
jika salah satu negara memasuki kawasan ini akan di anggap sebagai pelanggaran
padahal belum adanya ketegasan yang memastikan hal itu pelanggaran atau tidak.
Maka sebaiknya dilakukan perundingan atau negoisasi secara damai supaya tidak
terjadi sengketa lebih lanjut.
Perjanjian Republik
Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Ambalat beserta sengketa yang terjadi
Ambalat merupakan
blok laut seluas 15.235 km2 milik negara Indonesia, hal ini dapat dibuktikan
pada Perjanjian yang di beri nama Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani
di Kuala Lumpur. Isi perjanjian tersebut yaitu penetapan 25 titik yang terdiri
dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut
China Selatan dan melakukan pengesahan pada 7 November 1969.
Sengketa Ambalat ini
diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan
Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk
pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru
pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah
negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa
dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui
peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan
penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan
Malaysia.
Malaysia kembali membuat sengketa
dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak
membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke
dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena
melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan
Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau
Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah
Malaysia. Usaha-usaha Malaysia ini harus kita antisipasi dengan memperkuat keamanan
wilayah supaya tidak di rebut oleh negara Malaysia. Malaysia sering melanggar
perjanjian yang telah disepakati, bahkan pihak Indonesia mengakui adanya 35
kali pelanggaran perbatasan yang dilakukan Malaysia.
Perjanjian Republik
Indonesia-Papua New Guinea (PNG) mengenai perbatasan wilayah beserta
sengketa yang terjadi
Perjanjian yang disepakati yaitu pada
tanggal 13 Desember 1980 di Jakarta, “Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-batas Maritim antara
Republik Indonesia dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang Masalah-masalah yang
bersangkutan” yang menghasilkan kesepakatan garis-garis lurus lateral yang
menghubungkan enam titik batas di depan pantai selatan pulau Irian dan dua buah
titik batas di depan pantai utara pulau Irian.
Sengketa yang terjadi yaitu pihak
Indonesia maupun PNG tidak menjalani perjanjian yang telah disepakati yaitu
dalam proses pembuatan penegasan pembatasan wilayah dari perencanaan,
pelaksanaan, dan penggambaran seharusnya dilakukan bersama-sama. Tetapi
kenyataan di lapangan tidak sesuai perjanjian, kedua pihak melakukan proses
pembuatan penegasan pembatasan masing-masing, meskipun hasil akhirnya tetap
harus mendapat tanda tangan oleh kedua negara. Desa Wara Smoll, Kabupaten Bintang
secara hukum merupakan wilayah NKRI namun ironisnya wilayah ini di tempati,
diolah, dan dimanfaatkan oleh warga PNG. Hal ini merupakan ancaman yang harus
segera diselesaikan oleh negara Indonesia karena kita tidak boleh membiarkan
potensi alam kita dimanfaatkan oleh negara lain. Persamaan budaya dan ikatan
kekeluargaan masyaraka yang tinggal di perbatasan menyebabkan masyarakat
cenderung mengutamakan hukum tradisional yang berlaku dibandingkan hukum pada
negara masing-masing. Masih adanya keraguan mengenai perbatasan yang akurat
sehingga mengakibatkan kesalahan misalnya salah menangkap nelayan asing yang
sebenarnya berada di kawasan yang tepat menurut negara bersangkut, menimbulkan
konflik mengenai pengakuan potensi minyak secara sepihak.
Perjanjian bilateral
Republik Indonesia-Timor Leste mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa
yang terjadi
Penerapan Provisional
Agreement (PA) merupakan perjanjian yang telah disepakati oleh RI dan
Timor Leste pada tahun 2005. Sengketa yang terjadi yaitu masih menyisanya 3%
wilayah yang belum disepakati dalam penegasan batas wilayahnya. Negara Timor
Leste ingin menyelesaikan sengketa ini dengan Treaty 1904, namun negara
Indonesia menginginkan diselesaikan menggunakan PenerapanProvisional
Agreement (PA), khususnya pasal 6 yang isinya antara lain agar dalam
penegasan batas mempertimbangkan kondisi masyarakat setempat yang tinggal di
sekitar perbatasan.umumnya masyarakat Timor Leste yang tinggal di perbatasan
masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, dan memiliki hubungan
erat secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia yang
khususnya tinggal di
perbatasan. Hal ini harus diwaspadai karena ditakutkan terjadi pengakuan budaya
Indonesia oleh negara Timor Leste Negara Indonesia juga harus secepatnya
menyelesaikan sengketa mengenai keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih
tinggal di wilayah Indonesia karena ditakutkan akan terjadi sengketa yang rumit
jika dibiarkan saja.
Perjanjian
Republik Indonesia-India mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang
terjadi
Perjanjian ini ditandatangani di New
Delhi pada tanggal 14 Januari 1977, isi perjanjian ini yaitu Garis Batas
Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik
pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Namun yang
menjadi sengketa yaitu belum dirundingkan garis batas ZEE antara negara
Indonesia dan India sehingga belum adanya peraturan tegas mengenai batas-batas
tersebut. Sengketa yang terjadi yaitu tidak displinnya para nelayan kedua negara
ini sehingga sering terjadi pelanggaran perbatasan dikedua wilayah negara
tersebut.
Perjanjian Republik
Indonesia-Thailand mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Isi Perjanjian Indonesia dengan
Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11
Desember 1973 yaitu adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke
arah Tenggara yang disepakati. Sengketa ini karena perundingan yang
dilakukan belum menemukan kesepakatan sehingga tidak tegasnya perbatasan wilayah
ZEE. Sengketa yang terjadi yaitu pelanggaran perbatasan yang dilakukan oleh
nelayan Thailand, para nelayan tersebut menangkap ikan diperairan Indonesia
sehingga merugikan negara Indonesia serta menganggu keamanan perairan Indonesia
Perjanjian Republik
Indonesia-Singapura mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian yang
disepakati di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973 menjelaskan bahwa “Berdasarkan
prinsip sama jarak antara dua pulau yang berdekatan karena lebar laut antara
kedua negara kurang dari 24 mil laut”. Sengketa yang terjadi karena Singapura
ingin perluasan wilayah perairan lautnya di sekitar Pedra Branca dengan
melakukan pengakuan sepihak zone ekonomi eksklusif (ZEE) Singapura ke
arah timur sampai ke Laut Cina Selatan (batas maritim RI dan Malaysia).
Sengketa ini cukup rumit karena wilayah tersebut melibatkan Singapura, Indonesia,
Malaysia maka dalam pengakuan sepihak oleh Singapura itu dibutuhkan perundingan
dengan Malaysia agar Singapura tidak melanggar perjanjian yang telah
disepakati.
Sengketa mengenai penambangan pasir
laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus
ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut
mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak
para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan
pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di
Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini
dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura
karena perubahan geografis di Indonesia.
Perjanjian Republik
Indonesia-Vietnam mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian penentuan garis batas landas
kontinen antara Indonesia dengan Vietnam yang terletak di Laut Cina Selatan,
perjanjian telah disepakati pada tanggal 26 Juni 2003 di Hanoi Vietnam. Isi
perjanjian tersebut yaitu landas kontinen RI-Vietnam terdiri atas enam pasal
yang antara lain mengatur titik koordinat dan garis yang menghubungkan,
perlunya kerja sama dalam bentuk koordinasi kebijakan terkait, dan cara
penyelesaian damai jika terjadi perselisihan akibat
salah penafsiran.
Perjanjian batas landas kontinen antara
Indonesia dan Vietnam merupakan hasil perundingan selama 26 tahun, hal ini
diakibatkan karena persengketaan di wilayah perbatasan yang diperikirakan
banyak mengandung minyak dan mineral yang besar. Sengketa terjadi di wilayah
perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di
Vietnam, hal ini diakibatkan karena perbedaan pemahaman mengenai kontinen tanpa
batas benua di perbatasan tersebut. Pada 12 November 1982, Vietnam secara
sepihak ingin memasukan Quoc masuk ke dalam wilayahnya tentu hal itu melanggar
perjanjian yang telah disepakati. Namun Yang menjadi persoalan yaitu garis
batas ZEE yang belum menemui kesepakatan dari kedua negara ini sehingga terjadi
persengketaan ketika Vietnam secara sepihak mengakui ZEE seluas 200 mil laut,
dan ingin mengambil pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal
yang mengakibatkan perbatasan ZEE Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna
terancam keutuhannya.
Perjanjian Republik
Indonesia-Philipina mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Di mulai dari tahun
1973, kedua negara sudah beberapa kali melakukan perundingan mengenai batas
laut di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, namun belum menemui
kesepakatan secara bilateral. Akhirnya, kesepakatan secara bilateral ini mulai
diusahakan dengan diadakannya forum RI-Philipina yaitu Joint Border Committee
(JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang diharapkan
dapat mencapai kesepakatan dalam masalah perbatasan kedua negara tersebut.
Belum adanya perjanjian bilateral
mengakibatkan sengketa yaitu mengenai keberadaan P.Miangas yang menurut ”Treaty
Of Paris 1898” wilayah tersebut milik negara Philipina, sedangkan menurut
”Wawasan Nusantara” dan ”UNCLOS’82” wilayah tersebut milik negara Indonesia.
Setelah dilakukan perundingan akhirnya negara Philipina mengakui P.Miangas
sebagai milik Indonesia. Persoalan belum selesai karena klaim laut disekeliling
wilayah tersebut masih perlu dilakukan perundingan untuk mendapatkan
kesepakatan dan pengakuan bersama.
Perjanjian Republik
Indonesia-Australia mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Papua New Guinea
merupakan daerah kekuasaan Australia sehingga untuk menentukan batas wilayah
RI-Papua New Guinea perlunya dibentuk perjanjian RI-Australia. perjanjian ini
mengenai kesepakatan “Dasar Laut Tertentu” tanggal 18 Mei 1971 di Camberra,
yang mencapai kesepakatan tentang titik-titik perbatasan kedua negara, lalu
diadakan kembali perundingan di Canberra dari tanggal 22-26 Januari 19973 untuk
menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan sebelumnya. Isi perjanjian
tesebut yaitu penyelesaian-penyelesaan atas masalah-masalah penetapan garis
batas darat di sebelah utara dan selatan Sungai Fly, penetapan garis batas laut
wilayah serta garis batas dasar laut di Selatan Irian.
Kerumitan perjanjian
Indonesia-Australia pada saat penetapan garis batas darat di belokan Sungai
Fly. Sengketa terjadi ketika secara sepihak Australia meyatakan bukti-bukti
nyata mengenai keberatannya atas pemakaian prinsip koordinat-koordinat dalam
menetapkan perbatasan sehingga Indonesia menyetujui usul Autralia mnggunakan
prinsip alur pelayaran Sungai Flu.
Perbatasan
laut antara kedua negara sangat luas yaitu krang lebig 2.100 mil laut dari
selat Torres sampai P.Chrismas. perjanjian perbatasan kedua negara cukup
menarik karena telah disepakati sebelum berlakunya UNCLOS ’82 maupun
sesudahnya. Sengketa yang terjadi ketika negara Timor Leste telah merdeka
sehingga perjanjian sebelumnya harus ada yang di ubah yaitu perjanjian Timor
Gap Treaty harus dibatalkan dan perlunya perundingan secara antara
RI-Timor Leste-Australia. Namun persoalan semakin rumit karena perbedaan
pendapat
Indonesia dengan konsepsi Negara
Kepulauannya memiliki wilayah darat yang luas terbukti dengan banyaknya
hamparan pulau-pulau di Indonesia, dan wilayah laut yang juga luas yang
menciptakan adanya kedaulatan yang dimiliki oleh Indonesia dalam melaksanakan
yurisdiksi eksekutif di wilayahnya atas dasar Hukum Internasional.
Ketika kita berbicara mengenai konsepsi
Negara kepulauan, Maka lebih banyak pembahasan yang kita temui adalah hal-hal
yang terkait dengan perbatasan wilayah Indonesia dengan Negara-negara lain
khususnya Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, dan biasanya
bagian wilayah yang lebih banyak berbatasan dengan Negara lain tersebut adalah
daerah atau wilayah laut. Kedaulatan Negara atas wilayah laut merupakan suatu
pembahasan yang sangat penting dewasa ini, ditandai dengan sangat pesatnya
perkembangan hukum laut internasional dewasa ini, khususnya setelah disahkannya
Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Oleh karena itulah, Indonesia sebagai Negara yang
berdaulat berhak dan perlu untuk mengadakan pengaturan-pengaturan atas
wilayah-wilayah yang menjadi kedaulatannya, seperti mengatur wilayah laut
teritorial sendiri, perairan pedalaman Indonesia, landas kontinen, zona ekonomi
ekslusif , dan lainnya ( Adolf, 1991 ).
Peran perjanjian bilateral-multilateral
terhadap status Indonesia sebagai Negara Kepulauan secara umum yang terlihat
jelas dan terasa bagi bangsa Indonesia adalah akan lebih memperkuat atau
memperkokoh konsepsi atau prinsip bahwa Indonesia memang merupakan Negara
Kepulauan, sehingga diakuinya konsep negara kepulauan Indonesia oleh bangsa-bangsa
lain di dunia dan dapat mencegah terjadinya konflik dengan Negara lain yang
dapat memecah kesatuan Negara Republik Indonesia, terlebih lagi dalam hal
kesatuan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Namun, di samping itu kita juga perlu
mengetahui dan mempelajari seberapa penting atau bermanfaat atau seberapa
berperankah perjanjian bilateral-multilateral terhadap konsepsi Indonesia
sebagai Negara Kepulauan. Beberapa yang dapat Penulis kemukakan diantaranya
adalah :
a. Atas dasar pengakuan
prinsip Negara Kepulauan dan didukung dengan berbagai perjanjian
bilateral-multilateral yang dijalin Indonesia dengan Negara lain membuat luas
wilayah Indonesia berkembang menjadi 8.400.000 km.
b. Dengan dilakukannya
perjanjian bilateral-multilateral antara Indonesia dengan Negara-negara yang
berbatas langsung dengan Indonesia, Maka masing-masing Negara dapat menyepakati
dan memperjelas mengenai perbatasan daerah/wilayah satu Negara dengan Negara lainnya.
Semakin
banyak perjanjian yang dilakukan maka akan semakin memperkokoh kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, satu pulau dengan pulau lainnya semakin menjadi
satu kesatuan yang kuat dan kompak tanpa adanya
c. campur tangan dari
Negara lainnya serta tidak adanya penggunaan wilayah laut yang suatu negara
yang digunakan sewenang-wenangnya oleh negara lain.
d. Akan semakin
mengukuhkan lagi kedudukan hukum dari pada wawasan nusantara Indonesia yang
dilandasi konsepsi negara kepulauan.
e. Memantapkan pengakuan
pihak ketiga terhadap wawasan nusantara dan kekuasaan yurisdiksi Indonesia atas
wilayah-wilayahnya.
f. Dengan diadakannya
perjanjian bilateral-multilateral, suatu negara yang berdaulat dapat mengatur
tata tertib di wilayah kekuasaannya, seperti wilayah perairan pedalaman, laut
teritorian, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan hal terkait lainnya.
g. Dapat menyelesaikan
segala persoalan garis batas Kontinen dengan negara-negara tetangga,
sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman pemerintah tentang landas kontinen
Indonesia pada tanggal 17 Februari 1969.
h. Indonesia sebagai
Negara Kepulauan membuat perairan yang dahulunya merupakan bagian dari laut
lepas, kini menjadi perairan kepulauan atau berada atas wilayah kedaulatan
Indonesia. Sehingga jika dalam perkembangannya dilakukan perjanjian
bilateral-multilateral maka akan semakin mmemperjelas status hukum atas
kepemilikan wilayah laut yang tadinya laut lepas menjadi perairan kepulauan
berada atas kekuasaan penuh Indonesia.
i. Dengan dilakukannya
perjanjian bilateral-multilateral untuk menciptakan kepastian hukum oleh
Indonesia yang dalam hal ini dilakukan oleh pejabat terkait, Maka akan
bermanfaat bagi generasi Indonesia berikutnya, yaitu dapat terhindar dari
terjadinya konflik dengan Negara tetangga yang berbatasan langsung dengan
Indonesia, karena sebelumnya sudah ada penetapan atas dasar hukum internasional
yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin negara sebelumnya.
2.Bentuk Contoh
Perjanjian Bilateral-Multilateral Yang Dilakukan Indonesia Dengan Negara Lain
Untuk Memperkuat Status Indonesia Sebagai Negara Kepulauan
Berdasarkan azas umum dalam Hukum
Internasional setiap Negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas
orang dan benda yang ada dalam wilayahnya sendiri. Supaya adanya saling
menghargai kedaulatan masing-masing Negara, Maka oleh karena itulah
diperlukannya kerjasama di berbagai bidang, khususnya di bidang menyangkut
wilayah perbatasan suatu Negara dengan Negara lain. Hal ini dapat diwujudkan
dalam bentuk perjanjian internasional.
Pada perjanjian internasional, jika
ditinjau dari segi jumlah Negara-negara yang menjadi pihak atau pesertanya maka
dikenal dengan adanya perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral, dan
dua bentuk perjanjian inilah yang menjadi salah satu hal yang dapat memperkokoh
konsepsi Negara Kepulauan dari suatu Negara, salah satunya adalah Negara
Republik Indonesia. Adapun beberapa contoh perjanjian yang sudah pernah
ditandatangani oleh Indonesia untuk memperkuat status Indonesia sebagai Negara
Kepulauan adalah :
1. Perjanjian antara
Indonesia dengan Malaysia tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka
dan Laut Cina Selatan yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 27
Oktober 1969.
2. Perjanjian antara
Indonesia dengan Malaysia tentang Garis Batas Laut Teritorial di Selat Malaka
yang ditandatangani di Kualalumpur pada tanggal 17 Maret 1970.
3. Perjanjian anatar
Indonesia dengan Thailand tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka
Utara dan Laut Andaman yang ditandatangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971.
4. Perjanjian antara
Indonesia dengan Australia tentang Garis Batas Dasar Laut Arafura dan Laut
Bagian Utara Irian Jaya yang ditandatangani di Canberra pada tanggal 18 Mei
1971
5. Perjanjian antara
Indonesia dengan Australia mengenai Garis Batas Laut Teritorial antara
Indonesia-Papua Nugini di Bagian Selatan Irian Jaya yang ditandatangani di
Jakarta pada tanggal 12 Februari 1973.
6. Perjanjian antara
Indonesia dengan Singapura tentang Garis Batas Laut Teritorial di Selat
Singapura yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973.
7. Perjanjian antara
Indonesia dengan India tentang Garis Batas Landas Kontinen di New Delhi pada
tanggal 15 Januari 1977.
8. Perjanjian antara
Indonesia dan Australia tentang Batas tertentu Landas Kontinen dan Zona Ekonomi
Eksklusif pada tahun 1997.
9. Perjanjian antara
Indonesia dengan Malaysia dan Thailand tentang Garis Batas Landas Kontinen di
Selat Malaka Utara
INDONESIA DAN BRUNEI
DARUSSALAM
Selain melakukan
kunjungan ke Menhan RI, Wamenhan Brunei Darussalam juga berencana melakukan
kunjungan kedua perusahaan industri pertahanan Indonesia yaitu PT Dirgantara
Indonesia dan PT. Pindad di Bandung. Di PT. DI, Wamenhan Brunei Darussalam akan
meninjau pesawat milik Brunei Darussalam yang saat ini sedang dalam perawatan.
Sedangkan di PT. Pindad, Wamenhan Brunei Darussalam akan melihat Panser APC
produksi PT. Pindad.
Wamenhan Brunei
Darussalam dalam kunjungan kepada Menhan RI menyampaikan, bahwa rencana
kunjungannya ke Industri Pertahanan Indonesia adalah dalam rangka menjajaki dan
mendalami lebih lanjut kemungkinan kerjasama Industri pertahanan kedua negara
sekaligus mendukung pengaktifan kerjasama industri pertahanan di kawasan ASEAN.
Menanggapai hal tersebut,
Menhan RI atas nama pemerintah Indonesia menyampaikan ucapan terimakasih atas
perhatian pemerintah Brunei Darussalam terkait kerjasama industri pertahanan.
Hal tersebut menurutnya, akan semakin mempererat dan meningkatkan hubungan
bilateral kedua negara.
Menhan RI lebih
lanjut berharap, ada dukungan yang kuat dari Brunei Darussalam sebagai salah
satu negara sahabat agar industri pertahanan ini dapat dikembangkan secara
bersama-sama
DAMPAK DARI
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Perdagangan
internasional membawa pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia.
Pengaruh tersebut ada yang bersifat positif, ada pula yang negatif. Berikut ini
beberapa dampak yang ditimbulkan dari pedagangan internasional.
Berikut ini beberapa
dampak positif perdagangan internasional :
1. Saling membantu
memenuhi kebutuhan antarnegara
Terjalinnya hubungan
di antara negara-negara yang melakukan perdagangan dapat memudahkan suatu
negara memenuhi barang-barang kebutuhan yang belum mampu diproduksi sendiri.
Mereka dapat saling membantu mengisi kekurangan dari setiap negara, sehingga
kebutuhan masyarakat terpenuhi.
2.Meningkatkan
produktivitas usaha
Dengan adanya
perdagangan internasional, kemajuan teknologi yang digunakan dalam proses
produksi akan meningkat. Meningkatnya teknologi yang lebih modern dapat
meningkatkan produktivitas perusahaan dalam menghasilkan barang-barang.
3. Mengurangi
pengangguran
Perdagangan
internasional dapat membuka kesempatan kerjabaru, sehingga hal ini menjadi
peluang bagi tenaga kerja baruuntuk memasuki dunia kerja. Semakin banyak tenaga
kerja yang digunakan oleh perusahaan, maka pengangguran dapat berkurang.
4. Menambah
pendapatan devisa bagi negara
Dalam kegiatan
perdagangan internasional, setiap negara akan memperoleh devisa. Semakin banyak
barang yang dijual di negara lain, perolehan devisa bagi negara akan semakin
banyak.
Permasalahan yang pernah terjadi di perbatasan Indonesia
No
|
Permasalahan
|
Negara Lain yang Terlibat
|
Penyelesaian
|
1
|
Kasus Ambalat
|
Malaysia
|
Melakukan pertemuan liberal guna membahas masalah dengan perundingan, dan memutuskan Pulau Ambalat tetap sebagai wlayah NKRI
|
2
|
Kasus Wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk
|
Malaysia
|
Melalui pertemuan Indonesia – Malaysia di Semarang pada tahun 1978, memutuskan wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk menjadi bagian dari wilayah Malaysia
|
3
|
Kasus Pulau Simakau
|
Singapura
|
Melakukan klarifikasi bahwa pulau yang dimaksud adalah pulau Simakau milik Singapura. Jadi, terdapat dua pulau yang bernama sama yang dimiliki Indonesia dan Singapura
|
4
|
Kasus Pulau Batik
|
Timor Leste
|
Pemangku adat antara wilayah Perbatasan Amyoung dan Ambenu, ingin menyelesaikan titik batas dan meminta izin pemerintah pusat untuk memfasilitasi tersebut. Kedua Negara belum diperbolehkan beraktivitas di daerah perbatasan tersebut
|
5
|
Kasus Pulau Miangas
|
Filiphina
|
Dinyatakan lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928
|
6
|
Kasus Pulau Nipa
|
Singapura
|
Kementrian Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun 2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura. Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.
|
Comments
Post a Comment